Budaya Sunda adalah budaya yang sesungguhnya berkembang dan menetap di didalam penduduk Sunda. Budaya Sunda dikenal sebagai budaya yang menjunjung tinggi sopan dan santun. Lazimnya, karakteristik dan kepribadian penduduk Sunda dikenal sebagai penduduk yang ramah-tamah, tidak mahal senyum, lemah dan lembut, periang, serta terlampau hormat kepada orang tua.
Suku sunda memiliki slogan sekaligus jadi filosofi hidup masyarakatnya, yakni ‘Soméah Hade ka Sémah’ berarti ramah, bersikap baik, menjaga, melayani dan menjamu, serta menggembirakan seluruh orang. Hal itu yang menjadikan bentuk pengaplikasian masyarakatnya pada tiap-tiap prilaku dan tindakan jalinan atau komunikasi, baik di lingkungan setempat maupun luar.
Ciri khas penduduk Sunda didalam melakukan jalinan dan komunikasi antarsesama kerap kali memakai bhs punten dan mangga. Istilah punten sendiri memiliki makna kerendahan hati, selagi istilah mangga merujuk pada bentuk mempersilakan, penawaran, ajakan, serta permohonan.
Tak cuma itu, tersedia pula budaya Sunda yang cukup diketahui dan dikenal luas oleh masyarakat. Kira-kira apa saja ya? Simak penjelasan di bawah ini, yuk!
1. Nyuguh
Nyuguh adalah prosesi yang digelar sejak dahulu secara turun-temurun sebagai bentuk rasa syukur penduduk Kampung Adat Kuta kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya hasil bumi. Menurut sebagian sumber yang berkembang di lingkungan masyarakat, Nyuguh senantiasa dilakukan pada 25 safar tiap-tiap tahunnya.
Puncak formalitas ini adalah mengarak dongdang atau tandu yang berisikan makanan, seperti ketupat dan sejenisnya, yang diperoleh dari hasil bumi kurang lebih Kampung Adat Kuta dan dilanjutkan bersama makan bersama di ujung jalan kampung. Makanan selanjutnya dibawa dan pada kegiatan selanjutnya seluruh penduduk saling berbagi satu serupa lain.
2. Kesenian Sisingaan
Kesenian atau formalitas Sisingaan berakar dari usaha penduduk di Kabupaten Subang didalam melepaskan tekanan pada situasi politik di masa penjajahan, tepatnya di th. 1812 selagi wilayah perkebunan Subang dikuasai dan diduduki secara bergantian antara Belanda dan Inggris.
Pada masa itu, bentuk patung singa didalam formalitas Sisingan belumlah sempurna seperti selagi ini. Hal itu karena konstruksi kayu yang digunakan masih ringan dari pohon randu dan urutan rambut yang terbuat dari daun kaso atau bunga. Kemudian, kerangkanya pun masih ala kadarnya bersama struktur anyaman bambu yang dibalut karung goni.
Baca juga:
BERAGAM KEBUDAYAAN PULAU PAPUA
Budaya Jogjakarta Yang Paling Terkenal
Sisingaan ini memperlihatkan dua hingga empat boneka singa. Untuk permainannya sendiri pun, Sisingaan dimainkan oleh empat orang sebagai pemandu singa, yakni dua orang anak yang menunggangi singa dan sebagian pemuda bertugas untuk mengiringi jalannya urutan kegiatan kesenian Sisingaan, tentu saja bersama diiringi alat musik tradisional Sunda. Pertunjukan Sisingaan ini mengelilingi kampung setempat ataupun jalanan kota.
Adapun alasan dipilihnya singa sebagai simbol dari kesenian Sisingaan ini, yakni karena sebagai bentuk usaha penduduk Subang didalam menyindir atau mengkritik bangsa Eropa bersama menjadikan simbol kebesaran negaranya sebagai sebuah permainan rakyat.
Dalam pertunjukannya, penduduk Subang mengusahakan melimpahkan ekspresi rasa benci melalui simbol atau simbol singa yang dinaiki dan dimainkan oleh anak-anak. Kemudian, para penunggang, yakni anak-anak selanjutnya menjambak rambut kepala dari singa yang dijunjung oleh bangsa Eropa.
Selain diadakan sebagai bentuk perlawanan, formalitas Sisingaan disebut termasuk sebagai ‘odong-odong’ oleh sebagian penduduk Subang. Mereka memakai odong-odong untuk sarana ritual pertanian.
Kegiatan dan kegiatan yang dilakukan ialah bersama mengagungkan padi dan leluhurnya melalui kemampuan gaib atau supranatural. Ritual odong-odong selanjutnya berlangsung bersama cara mengarak sebuah benda yang disamai bersama bentuk hewan tertentu.
Seiring berkembangnya zaman, kesenian Sisingan ini berubah jadi sarana untuk memeriahkan anak-anak yang hendak dikhitan atau disunat agar mereka terhibur. Lalu, anak-anak selanjutnya diarak mengelilingi kampung atau desa setempat, tepatnya satu hari sebelum saat dikhitan. Kemudian, mereka dimandikan air kembang yang udah disiapkan oleh dukun rias sebelum saat selanjutnya dijadikan sebagai pengantin sunat.
Hingga akhirnya, kesenian Sisingaan ini diikuti oleh kota lain, seperti Garut, Cirebon, dan Sumedang sebagai kesenian memikul binatang tiruan.
3. Upacara Adat Nyangku Kabupaten Ciamis
Kabupaten Ciamis memiliki upacara adat yang udah tersedia sejak zaman dulu dan masih rutin dilakukan hingga sekarang. Upacara adat selanjutnya yakni Upacara Adat Nyangku. Istilah Nyangku berasal dari kata yanko didalam Bahasa Arab yang memiliki makna membersihkan.
Kata yanko selanjutnya sesudah itu diubah pelafalannya jadi nyangku yang berarti nyaangan laku atau didalam Bahasa Sunda berarti menerangi perilaku.
Dalam laman selanjutnya dijelaskan Upacara Adat Nyangku udah tersedia sejak zaman Kerajaan Panjalu yang di mana upacara adat ini dianggap memiliki nilai-nilai baik bagi kehidupan oleh penduduk pada selagi itu.
Upacara Adat Nyangku dilakukan pada hari Senin atau Kamis paling akhir di bulan Maulud bersama maksud untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW dan mengenang Prabu Sanghyang Borosngora sebagai Raja Panjalu, orang yang menyebarkan agama Islam di Ciamis.
Adapun prosesinya, Upacara Adat Nyangku di mulai bersama pengambilan air keramat dari tujuh titik mata air petilasan Prabu Sanghyang Borosngora untuk bersihkan benda pusaka. Air yang udah diambil sesudah itu disimpan di area spesifik selama 40 hari hingga hari pelaksanaan Upacara Adat Nyangku.
Pada hari Upacara Adat Nyangku, benda pusaka dikirab menuju Pulau Nusa Gede yang tersedia di sedang danau Situ Lengkong Panjalu, area dimakamkannya Raja Panjalu yakni Prabu Hariang Kancana dan Bupati Galuh paling akhir yakni Cakranagara III.
Sementara puncak Upacara Adat Nyangku yakni bersihkan benda pusaka bersama air dari tujuh sumur itu dan dikeringkan bersama tungku memuat kemenyan. Benda pusaka itu selanjutnya diolesi minyak kelapa murni, dibungkus daun kelapa muda serta dililit kain putih.
Setelah selesai ritual pembersihan, benda-benda pusaka selanjutnya diarak untuk disimpan kembali di Pasucian ‘Bumi Alit’.