Wilayah abu-abu antara seni dan vandalisme didalam seni jalanan Indonesia

Wilayah abu-abu antara seni dan vandalisme didalam seni jalanan Indonesia

Semua berawal berasal dari perburuan yang dilaksanakan pemerintah atas seniman di balik mural “Jokowi: 404 Not Found”. Selanjutnya,seni jalanan adalah pemerintah menindak beragam mural “kritis”, menghapus mural yang mereka anggap sanggup mengancam ketenteraman daerah atau negara.

Baca Juga : Karya seni rupa 3 dimensi

Berita itu mengakses wacana berkenaan demokrasi dan ekspresi diri.
“Kalau sesungguhnya vandalisme, kenapa mural di seni jalanan melaka  samping ‘Jokowi: 404 Not Found’ tidak dihapus juga?” seorang pengguna Twitter menanggapi. Pertama-tama, penting untuk memahami bagaimana komunitas seni jalanan memandang vandalisme didalam kaitannya dengan karya.

Vandalisme

Vandalisme, atau tindakan perusakan yang disengaja atas properti publik atau pribadi, diakui sebagai tindak kejahatan di banyak negara. Namun, sejarah udah memandang bagaimana vandalisme sukses mendapat daerah didalam seni, seni jalanan penang  atau lebih tepatnya diakui punyai aspek artistik. Pada era Komune Paris pada tahun 1871, Gustave Courbet, presiden Federasi Seniman pas itu, menggulingkan patung Napoleon Bonaparte berasal dari Kolom Vendôme. Pelukis itu menyatakan:

“Berhubung tiang Vendôme adalah monumen tanpa nilai seni apa pun, yang ekspresinya condong mengabadikan gagasan perang dan penaklukan berasal dari dinasti imperial, namun yang menampik sentimen negara republik, warga negara Courbet tunjukkan bahwa pemerintah Pertahanan Nasional harus mengizinkan dia untuk membongkar kolom ini.”

Dalam pembelaan pribadinya, muatan politik didalam patung itu mengalahkan tujuan artistiknya, yang menyebabkan kehadirannya bertentangan dengan sentimen republik rakyat pas itu. Dalam konteks ini, memahami bahwa Coubert melakukan tindakan vandalisme untuk tunjukkan gagasan yang menurutnya tepat pada pas itu. Ini diakui sebagai tidak benar satu bentuk artistik vandalisme paling awal.

Di Indonesia, seni vandalistik tidak dulu lepas berasal dari pembentukan bangsa ini. Pada era penjajahan, penduduk melakukan seni vandalistik, layaknya graffiti berisi kata-kata penyemangat, mural yang mengajak penduduk untuk melawan,seni jalanan tanjung malim dan juga poster-poster di area publik. Dalam unggahan Instagram-nya, sejarawan Abel Jatayu mempertunjukkan jejak-jejak seni jalanan vandalistik karya penduduk Indonesia, terutama di Salatiga, pada era kolonial.

“Sejak agresi militer Belanda I dan II, ternyata penduduk Salatiga aktif pakai ruang-ruang kota untuk menyuarakan keprihatinan mereka dan menyita anggota didalam proses menuju kemerdekaan penuh,” tulisnya. Ia memposting foto-foto bangunan yang terbakar di kota tersebut, yang sengaja dihancurkan agar kala Belanda menetap, mereka tidak sanggup pakai sarana tersebut. Ada juga foto-foto poster stensil yang ditempel di dinding dan coretan-coretan berisi seruan untuk melawan para penindas.

Seni Vandalistik

“Secara pribadi, vandalisme menurut saya adalah jiwa seni jalanan,” kata Alodia Yap, seniman asal Salatiga yang udah berkecimpung di dunia seni jalanan didalam lima seni jalanan kota bharu tahun terakhir. Menurutnya, vandalisme tertanam didalam seni jalanan didalam hal di mana dan bagaimana karya tersebut dibuat. Karena menempati area dan sarana publik dengan kepemilikan publik atau negara, seni jalanan berbentuk vandalistik. seni jalanan mural dan grafiti Namun, wilayah abu-abu keluar kala diskusi bergeser ke topik berkenaan apakah seni jalanan bermakna vandalisme.

Seni jalanan adalah makna lazim untuk semua bentuk seni tidak formal atau independent yang dibuat di area publik agar sanggup dicermati banyak orang. Bentuk yang paling lazim mungkin adalah mural yang, menurut definisi, adalah seni yang dilukis atau diterapkan segera di dinding, dan grafiti, yang merupakan kata-kata atau teks yang diterapkan di dinding atau permukaan publik. Namun, ada juga yang berbentuk instalasi seni. Banksy, misalnya, kadang-kadang mencampurkan properti lain ke didalam karya muralnya.

Metode penerapan karya sanggup banyak variasi tergantung pada tiap-tiap seniman. Ada yang melukis segera ke dinding atau menempelkan karyanya ke dinding didalam bentuk stiker, ada juga yang pilih wheatpasting -menggunakan lem berbahan dasar kanji untuk menempelkan karyanya di dinding-. Alat yang mereka pakai juga beragam: cat semprot, stensil, kapur, atau lebih-lebih bibit tanaman.

Alasan mengapa area publik menjadi daerah yang disukai untuk mempertunjukkan seni semacam ini adalah gara-gara penciptanya menghendaki penduduk memandang seni mereka dan memahami keberadaan mereka. Godmatter, seorang seniman visual yang berbasis di Bandung, mengatakan kepada TFR bahwa seni publik adalah model seni yang paling dekat dengan publik. “Untuk memandang bentuk seni lainnya, penduduk harus masuk ke didalam kubus putih (galeri/museum), tidak layaknya seni jalanan yang singgah ke publik dan menjadi apa yang kami memandang sehari-hari,” katanya.

Tidak peduli apa yang disampaikan sebuah karya seni, orang yang melihatnya akan tetap punyai interpretasi berbeda. Contoh lain sanggup ditemukan pada seniman jalanan kondang yang udah sukses masuk ke galeri atau disponsori oleh instansi negara atau perusahaan swasta. Godmatter menjelaskan, “Para seniman itu pasti punyai peraturan yang dulu mereka lawan kala mereka memutuskan untuk terjun ke seni jalanan.”

Lembaga Yang Melarang Seni Jalanan

Dalam pengamatannya, lembaga-lembaga tersebut condong pandang remeh proses yang dilewati seorang seniman sebelum saat mereka kondang dan dikenal publik. Ketika seniman tersebut tambah populer, barulah pihak-pihak ini jadi mendukung mereka.

Ia juga memandang adanya disparitas didalam hal bantuan antara ide-ide spesifik yang direpresentasikan didalam karya-karya tersebut. “Sepertinya ide-ide yang diakui ‘baik’, yang aman berasal dari penghapusan, adalah yang tidak mengganggu ketertiban antara penguasa dan penduduk umum,” pungkasnya.

Ketika sebuah mural mengekspresikan gagasan yang tidak mengganggu tatanan yang ada, penguasa condong membebaskan saja. Namun, kala gagasan yang tertanam didalam karya itu mengkritik tatanan yang ada, keberadaan karya tersebut diakui buruk.

Pengamatan ini mencerminkan kenyataan yang ditunjukkan oleh penghapusan mural baru-baru ini di beragam lokasi. Di Yogyakarta, mural “Dibungkam” di jembatan Kewek dihapus gara-gara diakui “provokatif” oleh pihak berwenang. Pemerintah pakai peraturan daerah berkenaan ketertiban lazim sebagai dasarnya.

Yogyakarta dikenal sebagai kota yang ramah pada mural di area publik, layaknya yang keluar di kawasan Taman Sari. Tembok-tembok yang dulunya diakui polos dan kotor kini dihiasi dengan beragam mural dan grafiti karya 30 seniman jalanan lokal dan internasional. Proyek ini mendapat dukungan oleh penduduk setempat dan juga pemerintah daerah sebagai program peremajaan. Tidak layaknya grafiti di jembatan Kewek, mural dan grafiti yang menghiasi dinding Taman Sari tidak diakui sebagai ancaman.

Ini juga pertanda daerah seni jalanan di lanskap perkotaan Indonesia, baik sebagai dekorasi maupun polusi visual. Tidak ada yang membedakan keduanya, gara-gara wilayah di antara keduanya adalah wilayah abu-abu.

Seni Jalanan Menurut Hukum Indonesia

Hukum di Indonesia tidak mengimbuhkan definisi yang memahami berkenaan vandalisme, agar mengakibatkan ambiguitas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan vandalisme sebagai perusakan karya seni dan barang berharga lainnya atau perusakan dengan kekerasan dan kekejian. Sementara itu, tindakan mencoret-coret/menulis/melukis di dinding sesungguhnya menandai mediumnya, namun fungsinya tetap utuh.

Dalam beragam peraturan, mural atau grafiti dikategorikan sebagai kejahatan ringan, yakni pelanggaran pada tata tertib yang ada. Pemerintah pakai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk kasus-kasus ini. Di Yogyakarta, pemerintah pakai Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.15/2018 berkenaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat. Kedua peraturan tersebut tidak secara spesifik pakai kata vandalisme, melainkan “coret-mencoret”.

Pasal 489 ayat (1) KUHP kerap digunakan untuk menanggulangi masalah perusakan, layaknya yang diterapkan pada pelaku perusakan MRT. Pasal ini tunjukkan bahwa “kenakalan” pada orang atau barang yang sanggup mengakibatkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak Rp225. R. Soesilo menyebut artikel ini sebagai “artikel keranjang” gara-gara tiap-tiap tindakan yang mengakibatkan bahaya atau susah sanggup dikenai pasal ini. Pada umumnya, kerugian yang ditimbulkan berasal dari tindak pidana ini adalah cost renovasi.

Pasal 20 Perda Yogyakarta No.15/2018 melarang tiap-tiap orang dan/atau badan melakukan kesibukan corat coret pada bangunan cagar budaya, sarana umum, jalan, bangunan, dan kendaraan/barang punya orang dan/atau badan, terkecuali udah mendapat izin berasal dari pemiliknya. Penjelasan Pasal 20 tunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kesibukan corat coret adalah perbuatan menyebabkan kerusakan dan/atau mencemarkan suatu barang dengan pakai cat atau bahan sejenis.

Bahkan Banksy, (bisa dibilang) seniman jalanan paling mapan di dunia, adalah seorang seniman jalanan dengan pesan anti-perang, anti-kapitalisme, dan anti-kemapanan yang tertanam didalam karya-karyanya. Pada tahun 1990-an, dia terus bermain kejar-kejaran dengan pihak berwenang. Periode ini dianggap sebagai periode di mana dia beralih ke stensil untuk mempersingkat pas kerjanya agar tidak tertangkap. Sekarang, karya seninya dihargai hingga jutaan dolar. Bahkan kala pihak-pihak yang dia lawan terus berusaha mencari langkah untuk menjatuhkannya, dia tidak berhenti “merusak” properti publik dengan kritikannya.

Kritikan Pada Seni Jalanan

Alodia mendapati bahwa lanskap kota dan seni jalanan di Indonesia punyai jalinan putus-sambung. “Ketika karya seni itu menyinggung penguasa, entah bagaimana karya itu melanggar peraturan yang ada,” katanya, “tetapi kala sebuah karya membawa kebanggaan bagi kota dan mempercantik kota, pihak berwenang kerap mengklaim bahwa mereka mengembangkan seniman jalanan lokal.”

Ia menceritakan perihal pas rekannya sesama seniman jalanan di Salatiga ditangkap paksa oleh polisi dan diperlakukan tidak manusiawi gara-gara sebuah karya seni yang diakui “buruk”. Tak lama berselang, para pejabat pariwisata menghubungi penduduk untuk mengemukakan kesediaan mereka memfasilitasi kesibukan seni jalanan di kota tersebut.
Mustahil untuk membiarkan paradoks yang drastis itu. Seolah-olah orang lupa bahwa secara historis, kala mengilhami sebuah ide, “seni jalanan menjadi tempat bagi orang-orang yang tidak punyai sarana untuk menyuarakan pendapat mereka.”

Baginya, langkah pihak berwenang menanggapi seniman jalanan yang mengekspresikan diri dan ide-ide mereka adalah menabur benih ketakutan. Di tempat massa, para seniman jalanan diinformasikan “dicari” atau, layaknya yang berlangsung pada sesama seniman, “dijemput malam-malam” dan “dipukuli”. “Itu membuatku berpikir, ‘oh, mereka sanggup melakukan ini padamu hanya gara-gara menggambar’,” renungnya, “mereka menghendaki kami kala kami memfasilitasi ide-ide mereka, namun mereka tidak akan terima segi kritis kita.”

Godmatter menyoroti bahwa yang mengkhawatirkan berkenaan penghapusan karya seni jalanan bukanlah penghapusan itu sendiri, gara-gara saling menutupi seni adalah praktek lazim di kalangan seniman jalanan. Yang mengkhawatirkan adalah penyensoran ide-ide seniman; ini adalah bentuk penindasan pada ekspresi diri mereka. Namun, dia jadi bahwa saling tunjuk adalah tindakan yang kontraproduktif.

“Saya memahami bahwa pihak berwenang hanya melakukan tugasnya, namun kemungkinannya sangat kecil untuk tidak mengharapkan reaksi apa pun,” ujarnya.
Dia pilih membangun komunikasi dua arah didalam menanggapi benturan semacam ini, namun dia juga mengakui bahwa masalah menjadi tambah rumit kala satu pihak pakai kekuatannya. Menggunakan paksaan pada orang-orang yang bereaksi pada penindasan yang mereka alami bertentangan dengan tujuan kemerdekaan negara. Semakin ditekan suatu masyarakat, tambah kuat reaksinya.

error: Content is protected !!